Dunia itu dua suara, tersurat dengan banyak pena kekuasaan

Selasa, 22 September 2015

Indonesia: Bersyukurlah..

Kakek saya, pria generasi 1920-an yang merupakan angkatan ke IV IPB (dahulu masih bergabung dengan Universitas Indonesia), suatu hari bercerita mengenai pengalamannya bersama dosen warga negara Belanda. Dosen tersebut bertanya kepada kakek saya mengapa beliau hendak menuntut ilmu menggeluti bidang kehutanan. Dengan polos, kakek saya berujar bahwa Indonesia kaya akan hutan dan memang inilah satu satunya kesempatan yang ia miliki untuk bersekolah. Perlu diketahui bahwa kakek saya dapat kuliah di IPB karena beasiswa dinas dari kementerian kehutanan saat itu. Selanjunya, sang dosen mengutarakan pendapatnya.....

"Enak kalian yang tinggal di Indonesia, sungguh banyak yang dapat kalian kerjakan. Berbeda dengan di negara kami yang kecil dan tidak banyak hal yang bisa kami kerjakan."

Dosen tersebut berpendapat bahwa beruntunglah kakek saya, teman teman nya, dan seluruh mahasiswa Indonesia (serta rakyatnya) atas kemerdekaan Indonesia dan terlahir sebagai bangsa Indonesia. Banyak yang mampu dikerjakan di tanah ini. Sang bule pun melanjutkan, bahwa di tanah kelahirannya sudah terlalu banyak hal yang dikerjakan, sehingga inovasi terhambat dan teknologi (saat itu) belum dapat dikembangkan

Bingung. Orang Belanda berpikir bahwa Indonesia beruntung (saat itu) padahal baru saja lepas dari penjajahan. Bingung

Dan saya pun kembali bingung ketika hingga hari ini (memang benar) banyak hal yang harus dikerjakan, dan bingung untuk mengerjakannya. Seolah berteriak, "gue mesti mulai darimana sih?"

Ketika menulis ini, saya baru saja turun dari metromini 640 untuk mencapai Stasiun Sudirman. Malam itu perjalanan dari Semanggi-Sudirman 'diusik' oleh pria setengah baya yang ngamen dengan berpuisi.

Puisi?

Duta SO7 berpikir bahwa puisi adalah sebuah bintang. Elok dan indah. Namun mendengarnya di bus kota? Bahkan hampir tidak terdengar suara pria tersebut. Dan menurut saya, pria tersebut amat sangat sungguh bingung dengan hidup

Mungkin terbesit dalam pikirannya, "Apa lagi yang harus ku perbuat untuk menyambung hidup?" dan berpuisi (mungkin) menjadi pilihannya karena sejujurnya saya pun baru sekali mendengar seorang pengamen mencari nafkah di hutan beton dengan puisi dalam bus kota. Inisiatif dan menjadi beda sebenarnya adalah sebuah kreativitas, namun kali ini hal tersebut membingungkan saya

Di sisi lain, kehidupan kantor saya selalu berwarna dan warna warna tersebut penuh masalah dan solusi. Selalu saja terasa kekurangan di sana sini, baik itu berupa teknologi maupun sumber daya manusia. Hal hal remeh sungguh diabaikan di sana dengan dalih tiada manusia yang hendak mengerjakan. Apa pekerjaannya? Mengirim surat, membereskan meja, ataupun menara letak ruang kerja? Sejujurnya saya pun tidak ingin habis waktu untuk mengerjakan itu semua karena banyak hal lain yang harus saya kerjakan. Namun tidak bisakah pria yang berpuisi tersebut melakukannya?

Dari sudut mata pria tersebut, mungkin ia bingung apa yang dapat ia kerjakan. Dari sudut mata saya, saya bingung mengapa pria pria seperti itu, yang berbadan sehat, tidak dapat kesempatan untuk mengerjakan hal hal 'remeh' di kantor? Dan tebak sendiri, kira-kira pria tersebut akan amat sangat bingung gak ya kalo tau di kehidupan kantor saya sungguh banyak hal yang dapat ia kerjakan?

Jika sudah begini, setelah 69 tahun merdeka, saya rasa dosen dari Belanda tersebut tidak salah jika memiliki hipotesa bahwa amat sangat banyak hal yang dapat dikerjakan disini (dan dapat menjadi uang).

Contoh lainnya: Siapa diantara kalian yang mengembalikan set dashboard makanan di restoran fast food ke tempat penampungan? Saya yakin amat sedikit, karena di Indonesia hal tersebut dapat menjadi pekerjaan bagi mereka-mereka yang membutuhkan. Di Singapura (dan mungkin negara lainnya), hal tersebut dikerjakan sendiri oleh sang pemakan ayam dan pemakan burger, sehingga tidak diperlukan lagi banyak waiter untuk membereskannya

Masih bingung apa yang harus dikerjakan?

Minggu, 24 Mei 2015

Selamanya Pertama

Sejak awal zaman, manusia selalu memperbincangkan keperawanan sebagai tolok ukur seorang wanita dalam aktivitas seksualnya. Keperawanan seringkali menjadi objek bahasan sosial, yang apapun artinya, bila tidak sesuai dengan umur maupun status sosial, akan menjadi perbincangan positif dan negatif.

Dari sudut pandang guem gue cuma berpikir bahwa keperawanan itu adalah "awal", yang kebetulannya ada pada sesuatu yang seringkali dianggap sakral dalam kehidupan manusia dan agama. Padahal, selalu ada yang pertama, kan, untuk semua hal?

Bahkan yang kedua pun adalah yang pertama

Ketika lahir seorang anak kedua dari keluarga sederhana, maka anak kedua itu adalah "anak kedua pertama" dan "satu-satu nya anak kedua di keluarga tersebut", yang juga menjadi "adik pertama" dari sang kakak.

Ketika Rossi finish di urutan kedua di Le Mans, Prancis, 2015, maka itu adalah "pertama kalinya Rossi finish di urutan kedua di tahun 2015.

Ketika Anda pindah ke kantor baru, baik itu kantor kedua ataupun ketiga dalam karir Anda, maka tetaplah hari pertama kerja Anda akan menjadi "hari pertama bekerja di kantor baru".

Seringkali orang lupa bahwa waktu itu tidak dapat di ulang. Oh, sorry, gue salah: Orang terlampau ingat bahwa waktu tidak dapat di ulang, sehingga mereka melupakan arti dari kata-kata sakti tersebut. Manisnya sesuatu akan hilang ketika seluruh makanan Anda adalah manisan. Tidak terlihatnya gajah di depan muka adalah hal yang biasa apabila memang sudah terlampau dekat dan terlampau sering.

Kealfaan  manusia akan fakta ini seringkali berujung pada penyesalan, yang kemudian disusun dalam suatu kalimat (agak) bodoh: "Penyesalan selalu datang di akhir". Well, menurut saya, tidak akan ada akhir karena segala sesuatu adalah hal pertama dalam hidup. Yang mungkin membalikkan kalimat (agak) bodoh ini mungkin cuma satu: Pembelajaran. Namun, apakah segala sesuatu yang berjalan dalam hidup ini sama persis dengan apa yang dipelajari pada masa lalu? Big no.

Seseorang yang beriman akan bergumam bahwa apabila penyesalan terjadi, setelah melalui best effort (dengan segala prediksi dan teori-teori), maka itu adalah ujian dari Yang Maha Kuasa, dan inilah satu-satunya jalan untuk mensyukuri hidup.

Ketika menghadapi hari, yang harus dilakukan adalah memotivasi diri sendiri bahwa hari ini tidak akan pernah sama dari hari sebelumnya, dimana kita sudah belajar dari hari hari sebelumnya untuk menghadapi hari selanjutnya, sehingga seluruh hal "pertama" akan menjadi debut yang mengesankan kita semua. Siap untuk menghadapi yang pertama?

Minggu, 15 Maret 2015

Muka Sosial: Realita atau Digital Semata?

Seorang teman pernah bilang bahwa semua yang di posting di dunia maya adalah hanya cover baik nya aja. Seluruh yang terpampang disana hanyalah sisi  kehidupan yang ingin dipamerkan ke penduduk dunia ini (atau mungkin sebagian dari penduduk dunia ini), yang mana bisa jadi itu merupakan bestfriend, co-workers, bosses, atau mungkin temen lama dari jaman SD yang udah lamaaaaaa banget ga ketemu dan akhirnya kembali “berteman” di dunia maya karena dua alasan: Gak enak kalau gak approve friend request-nya, atau temen lo itu udah gak kalah eksis dan menarik hidupnya sehingga lo merasa harus catch up lagi dengan kehidupannya sekarang.

“Eh, jelaslah kalo apa yang lo liat disitu (sebuah jejaring sosial dengan lambang "P") cuma yang bagus-bagusnya aja. Mana mau mereka share sama lo kalo lagi susah”

Gue cuma bisa bilang, ada benernya juga nih kesimpulan. Malahan hampir sepenuhnya benar, sampai gue mengingat kadang ada temen yang emang hobi nya share hal-hal konyol dan cenderung bersifat “memalukan” di mata orang kebanyakan,  yang mungkin di mata dia hal itu bersifat “anjrit kocak banget nih”.

Sebenarnya, jejaring sosial sendiri hingga hari ini masih belum menembus seluruh kalangan masyarakat, atau dalam kata lain gue masih memiliki banyak temen yang tidak (atau mungkin belum) merasakan manfaat dari dunia maya. Beberapa rekan masih ada yang dengan batu nya mempercayai bahwa teknik melamar kerja yang paling efektif adalah door to door macam Si Doel, dengan menenteng hard copy curriculum vitae dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, atau mungkin dari booth satu ke booth lainnya dalam event-event jobfair yang marak diselenggarakan, ketika sebagian teman lebih dulu berpikir, “Emang itu lowongan ga bisa lo temuin di twitter?”

Dari hal ini gue melihat sebenarnya perilaku orang berselancar di dunia maya dengan kekhususan jejaring sosial itu dibagi menjadi beberapa kategori besar utama:

Aktivis Kehidupan
Tipikal orang ini ialah tipikal yang seringkali dapat memprediksi the future after this social networks. Mereka adalah orang-orang yang setelah aplikasi tersebut ramai maka akan segera berpikir, “OMG I’m done with this shit, what’s next?” ketika akun private nya mulai dipenuhi kicauan berbau perdanganan lokal, bahkan oleh temannya sendiri. Orang ini berpikir apapun dalam hidupnya, baik menarik maupun tidak, akan mereka share ke teman-temannya, dan (mungkin) seringkali tidak menyadari (atau tidak menggubris) bahwa banyak temannya di luar sana yang sudah berpikir “Anjir gini gini doang pake di post deh, maunya apa sih?!”.

Go With The Flow
Ini adalah golongan kebanyakan umat manusia saat ini (walau gue belom pernah melakukan research) terutama apabila mereka adalah Gen Y.  Ketika para Aktivis Kehidupan sudah beralih ke jejaring paling update, maka mereka akan mulai membuat account juga, dan bergaul dengan para Aktivis Kehidupan lalu mendorong orang-orang kudet di luar sana untuk join dengan mereka dengan mempromosikan jejaring sosial ini. Sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh para Aktivis Kehidupan. Terlalu banyak variasi dalam golongan ini, dan beberapa diantara mereka seringkali melakukan efesiensi dalam membandingkan “sejak kapan sih gue main ini?” dengan “gue udah berapa kali posting ya sejak pertama kali main?”, dan akan coba menyesuaikan hal tersebut secara berkala, agar tidak terlihat bergeser ke arah Aktivis Kehidupan maupun Silent Reader (yang akan kita bahas setelah ini).

Silent Reader
Yang terakhir adalah tipikal orang kudet tapi tidak tertinggal. Mereka tipikal orang-orang yang sudah terinformasi apa yang booming sejak lama, namun menyangsikan kegagahan dan kehebatannya sehingga menghabiskan banyak waktu untuk menganalisa “Buat apa sih gue main itu?” hingga akhirnya menyerah terhadap dominasi dan tekanan khalayak luas dalam superioritas jejaring sosial, lalu bikin akun dimana salah satu hal paling konyolnya disebabkan oleh perubahan status: pacaran!

Dari tiga golongan utama yang gue share di atas, at the end of the day semuanya bergabung pada jejaring sosial, dan kehidupannya terukut dari: jumlah posting, apa yang di posting, kapan melakukan posting, daaaaaan sebagainya yang menjurus pada satu kesimpulan bagi yang memperhatikannya: apa sih tujuan dia melakukan posting tersebut?

Kode? Atau jangan-jangan, terpaksa?

Jika gue boleh berpendapat, hari gini, 2015, ketika seluruh kebebasan berpendapat (yang bertanggung jawab, tentunya) dapat disuarakan oleh siapa saja, even itu mencak-mencak terhadap Presiden negara ini, maka tidak seharusnya aktivitas jejaring sosial dilakukan dengan terpaksa. Bener ga?

Dalam perjalanan gue menggunakan jejaring sosial, gue selalu share apa yang memang pengen gue share, dan gue sendiri menggolongkan diri gue dalam kelompok orang-orang “Go With The Flow”, yang melakukan efesiensi dan tidak begitu memperdulikan spam-spam pedagangan lokal.

Tentunya, sungguh sah apabila orang menggunakan jejaring sosial untuk tujuan tertentu: kampanye politik, beropini tentang hak asasi, memperjuangkan demokrasi, hingga flirting sana dan sini. It’s your own expression and nobody can’t stop you, unless you breaking a life-rule. Namun yang gue sayangkan hari ini ialah beberapa orang menggunakan jejaring sosial karena terpaksa.

Kok tau? Iya, karena gue kenal orang-orang itu, dan gue yakin beberapa diantara mereka tidak mengerti mengapa mereka harus menggunakan jejaring sosial tersebut, dan/atau posting hal hal yang tidak mereka inginkan,, apalagi karena faktor eksternal.

Ada beberapa teman gue yang menggunakan jejaring sosialnya hanya untuk berpacaran: posting apa yang mereka lakukan bersama pacarnya, yang bahkan dilakukan oleh pacarnya sendiri, bukan sang pemilik akun. Sebagian dari beberapa teman gue itu malah mengaku bahwa mereka tidak mengerti mengapa pacarnya menghendaki hal seperti itu. Sebagian dari orang-orang yang tidak mengerti ini pun berpikir kembali, “They kill their own market, don’t they?”, dan beberapa orang yang berpikir demikian, parahnya, tetap menemukan pacar mereka berselingkuh setelah melakukan perilaku tersebut.

Bukan mau suudzon, tapi banyak kan diantara kalian yang ketika melihat akun sosial temen kalian dan mendapati isinya seperti album perpacaran semata?

Gue tidak merasa hal ini adalah satu-satunya concern gue dalam memperhatikan perilaku manusia di jejaring sosial. Sejak Facebook booming pada pertengahan dekade kemarin, dan setelah The Social Network yang menceritakan perjalanan Mark Zuckerberg dalam menciptakan Facebook, jejaring sosial selalu menciptakan kawan dan lawan.

Maka gue rasa pantas bila hari ini kita semua harus kembali mempertanyakan, benarkan apa yang terlihat di jejaring sosial selama ini adalah fakta, realita, atau jangan-jangan hanya fana digital semata?

Minggu, 27 Juli 2014

Cepat Tepat

Sejak kecil, setiap orang rasanya ingin segera besar. Anak kecil pun seringkali menerima pertanyaan, “Kalo udah gede mau jadi apa?”. Mungkin sang penanya ingin menumbuhkan mimpi di setiap jiwa jiwa muda itu, atau mungkin juga sepenuhnya penasaran apakah cita-cita mereka. Namun apapun tujuan sang penanya, saya yakin mayoritas setiap anak kecil ingin segera tumbuh besar.

Ketika bocah lelaki ingin segera mengendarai motor dan mobil, maka bocah perempuan ingin segera jago masak ataupun menimang anak. Apakah seindah itu meninggalkan masa kecil?

Sialnya, ketika mereka semua beranjak besar dan memasuki fase remaja ataupun dewasa, mereka benar-benar tidak diharapkan untuk me-reka ulang apa yang telah mereka lewati. Sekali saja mengulang masa kecil mereka, maka tak jarang terderang sahutan, “Lo waktu kecil main apa aja deh?” ataupun “Masa kecil lo kurang bahagia, ya?”.

Semua orang gue rasa sudah cukup paham bahwa kedewasaan tidak bisa diukur dengan satuan umur. Apa yang anak kecil mau (dan jawab) ketika mereka masih kecil adalah “menjadi besar”, bukan “menjadi dewasa” mengingat sangat jarang orang bertanya “Kalo udah dewasa nanti mau apa?”. Setuju? Meskipun maksud kata ‘gede’ atau ‘besar’ yang terucap dari para penanya adalah ‘dewasa’, namun kedua hal ini tentunya tidak bisa disamakan. Maka jangan salahkan mereka bila tumbuh hanya menjadi besar dan (kurang) dewasa sesuai umurnya.

Jika merujuk pada arti kata yang tersurat, maka sukseslah seluruh anak kecil itu ketika mereka tumbuh besar dan berhasil mengendarai motor dan mobil, ataupun menimang anak pada waktu dan proses yang salah. Toh itulah harapan mereka secara tersurat. Mereka besar dan tidak seorangpun menjamin kedewasaan dalam diri mereka.


Melihat hal ini, gue jadi makin percaya bahwa setiap pelajar dan mahasiswa berhak untuk lulus di waktu yang tepat, bukan cepat-cepat. Sama perlakuannya dengan alasan para ‘anak besar’ untuk menikah di waktu yang tepat ketika banyak orang menggoda mereka untuk cepat-cepat. Semua (akan) selalu indah pada waktunya.

Minggu, 20 Juli 2014

Darat, Laut, dan Udara

Gue rasa yang namanya hidup itu selalu saja penuh dengan perbedaan, pertentangan, dan juga penerimaan. Setiap orang, termasuk kalian yang lagi membaca tulisan ini, pasti pernah dan akan selalu menemukan perbedaan pada setiap individu, pertentangan pada setiap kelompok, dan juga penerimaan pada setiap pasangan. Boleh jadi, ini adalah hal yang matriks. Boleh jadi, mereka yang berpasang-pasangan, menghadapi pertentangan (bahkan perceraian) dikarenakan perbedaan dan hilangnya penerimaan. Boleh jadi pula, mereka yang bersaudara dan berlandaskan satu kesamaan kemudian memutuskan untuk menjadi berbeda dan memulai pertentangan, seperti yang dilakukan kacang ketika ia melupakan kulitnya.

Semua itu mungkin, dan apa yang membuat itu semua menjadi sebuah kemungkinan ialah kehidupan itu sendiri. Albert Einstein menyimpulkannya dengan sebuah kalimat: Satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Sebuah titik perbedaan akan terus mendorong kita kepada dimensi yang berbeda pula, maka jangan remehkan satu jengkal pun perbedaan dan jangan pernah heran bila itu mendorong kalian ke perbedaan sebesar jurang di kemudian hari.

Darat, laut, dan udara. Semuanya fakta. Masing masing diantaranya menganggap satu sama lain adalah alam fana. Manusia, dengan ilmunya berusaha untuk tidak hanya hidup berdampingan di tiga alam berbeda, namun juga hidup di dalamnya, maka terciptalah gantole dan olahraga scuba-diving. Namun tetaplah jelas bahwa perbedaan lingkungan hidup tidak dapat dihilangkan meskipun dengan usaha yang sedemikian rupa.

Seorang teman berpendapat bahwa yang namanya selera itu tidak ada sekolahnya. Kalimat aktif ini benar, dan saya memilih untuk mengucap ulang kalimat tersebut secara pasif: Tapi sekolah tentunya menentukan selera (setiap orang). Maka jelaslah ikan-ikan di akuarium mungkin akan bahagia berenang di tempat yang ‘segitu-gitu aja’ selama ia tidak pernah melihat lautan. Jelas pula bahwa seseorang tidak akan berpikir membeli Gucci bila seumur hidupnya tidak pernah mengerti apa itu Gucci.

Lalu kemudian akan muncul perbedaan, pertentangan, dan (mungkin juga) penerimaan diantara makhluk-makhluk tidak-matriks ini. Manusia darat akan merasa paling hebat dan menceritakan gunung dan hutan ketika berpendapat melawan ikan laut yang mengagung-agungkan luasnya lautan dan kehidupan terumbu karang didalamnya. Segala hal ini tidak akan menemukan titik terang hingga ada keputusan untuk melakukan penerimaan terhadap setiap individu terkait.

Tentunya kalian pernah bersahabat dengan orang yang sombong, dan kalian berusaha untuk mengingatkannya dengan melakukan beberapa aksi dan cara yang berbeda namun tidak berhasil.

Tentunya kalian pernah bersahabat dengan orang yang tidak percaya diri, dan kalian berusaha meningkatkan kepercayaan dirinya dengan beragam trik berbeda namun tidak berhasil

Atau mungkin kalian juga pernah bersahabat dengan orang yang comel, yang kalian tidak begitu suka dengan sifat tersebut dan berusaha mengingatkannya bahwa itu tidaklah bijak, namun tidak berhasil.

Apakah kalian harus berhenti bersahabat dengan mereka-mereka semua, yang jelas berbeda dengan diri anda, dan jika diruntut alasannya maka akan tercipta begitu banyak cerita yang berujung pada perbedaan lingkungan hidup? Gue rasa, jangan.

Jika anda seorang bos besar yang memiliki karyawan yang tidak pintar, maka mungkin mudah untuk memberhentikannya dari pekerjaan. Namun jika anda adalah orang tua yang memiliki anak yang tidak pintar, apakah anda berpikir untuk memberhentikannya (dari sekolah)?

Penerimaan adalah jawabannya. Sulit, namun pasti bisa. Gue pernah berujar pada seorang teman (yang dia sepakati) kira-kira seperti ini: Kadang-kadang kepikiran, daripada selamanya jadi buntut naga, mendingan jadi kepala ayam?


Gimana menurut lo?

Rabu, 09 April 2014

Media Kita

Orang bijak seringkali berkata bahwa gajah mati meninggalkan belang, dan sepantasnya manusia mati meninggalkan tulisan. Pada masa masa terdahulu, sangat dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan tulisan adalah sesuatu yang ditulis oleh individu itu sendiri, namun sekarang gue percaya bahwa yang dimaksud tulisan itu bisa berupa apapun yang tertulis berkaitan dengan dirinya. Ketika Harper Lee meninggalkan novel legendarisnya To Kill A Mockingbird, dan Adam Smith meninggalkan Wealth Of Nations di dunia ini, maka dua buah karya tulis beda jenis ini mampu merefleksikan banyak hal mengenai mereka semasa hidupnya, yang mungkin begitu dicari oleh orang-orang yang hidup di zaman setelahnya, termasuk gue (mungkin).

Namun hari ini semua berubah sedemikian rupa. Teknologi lagi lagi menjadi jawabannya. Media menjadi binatang buas di alam nyata, ketika jeruji tidak lagi sama, sehingga kebun binatang pun adalah hal yang fana. Layar kaca menampilkan kita beragam suka dan duka ketika kertas koran bertuliskan berita kesenangan dan juga kesengsaraan. Semua menjadi begitu biasa, tak terkecuali fitnah dan alih kata.

Sebenarnya apapun bahasa dan apapun yang tertulis di luar sana, semua akan menjadi sah-sah saja karena tulisan menjadi salah satu karya seni manusia. Tidak semua orang suka menulis dan lo bisa tanya sama orang terdekat lo, apakah dia suka menulis atau tidak. Gue juga gak bilang bahwa menulis adalah hal yang sakral, sulit, atau anti-mainstream, karena setiap orang berhak memilih apakah dia mau menulis atau tidak.

Yang menjadi masalah hari ini ialah, apakah segala yang tertulis itu adalah benar? Plagiarisme menjadi objek yang paling sensitif dalam setiap jenis karya seni manusia. Namun menulis sebuah fakta (menurut saya) telah menjelma menjadi problema di setiap manusia hari ini. Percayakah Anda?

Bagi gue yang suka menulis, gue menyarankan kalian semua, para pembaca, untuk tidak mempercayai seluruh hal dari apa yang kalian baca. Tulisan terkadang fana, hiperbola, bahkan anti-fakta. Seluruh tulisan harus kalian baca, namun tidak seluruh tulisan harus kalian cerna. Dulu pernah ada senior gue berkata bahwa dalam berteman, lo harus coba berteman dari yang ‘sajadah’ hingga ‘haram jadah’. Gue pikir hal ini juga berlaku dalam membaca. Bacalah dari yang ‘sajadah’ hingga ‘haram jadah’, maka selanjutnya lo bisa memilih apa yang menarik perhatian lo untuk dibaca.

Membaca tulisan juga mempengaruhi pola pikir manusia, terutama generasi instan. Gen Y, yang katanya adalah generasi saya (yang mencerminkan kehidupan instan dan anti-loyalitas), adalah generasi yang akrab dengan quotes-quotes orang terkenal, tokoh-tokoh besar Gen X, dan sering menumpahkannya dalam jejaring sosial. Sebutlah Path atau Tumblr, hingga orang tersebut mengakhiri hari nya dengan “Anjir ini gue banget”, atau mungkin “Gila sumpah gue pernah giniiii”.

Semua yang beredar disana itu kan sebenarnya adalah ‘katanya’, dan hanya sekedar ‘katanya’, tanpa ada bukti jelas yang berbicara. Gue gak bilang seluruhnya, tapi sebagian besar demikian adanya. Dimana kalian baca quotes-quotes terkenal? Share gambar dari jejaring sosial? Seberapa banyak yang mengecek ulang kebenarannya? Bukankah lo semua juga tau bahwa sebegitu mudahnya melakukan edit foto hari ini?

Bahkan beberapa kali gue mendapatkan fakta bahwa ada aja orang yang memajang foto orang lain sebagai foto dirinya dengan menyamarkan muka ‘orang di foto tersebut’ dengan gambar muka kucing. Crazy world.

Gue tidak mengajak kalian untuk tidak percaya, tapi hanya mengingatkan bahwa segala kata-kata yang ada diluar sana itu tentunya gak seluruhnya benar. Sir Alex Ferguson dalam autobiografinya menjelaskan bahwa media seringkali merangkai ulang kata-katanya ketika press conference menjadi menarik untuk headline, namun membuyarkan arti inti dari kalimatnya. Karena gue telah menakut-nakuti lo semua terhadap validitas tulisan, untuk yang ini silahkan cek di bab XX.

Masih mau gampang percaya?


Kamis, 27 Maret 2014

Terserah Bapak Saja...

Seminggu terakhir ini gue selalu mendengarkan satu channel radio yang sama setiap harinya, terutama di jam-jam hectic dalam hidup gue. Kisaran jam 5-7 dan 17-20, gue setiaaaaaa banget sama salah satu radio yang kalo pagi dihebohkan dengan ocehan Farhan dan Asri. Gue rasa, gue kurang banyak selera dalam memilih channel radio, karena pilihan gue sebenernya ‘itu itu aja’, sampe akhirnya gue seminggu ini gak tergoda untuk mengutak atik radio mobil.

Selama gue dengerin seluruh bagian dan ocehan yang keluar dari radio itu, termasuk lagu-lagu terbaiknya, gue hampir tidak menemukan bagian yang menjadi ciri khas dari siaran radio itu. Terkecuali pagi, sih. Soalnya tiap pagi tentunya pembawa acara radio kan berbeda-beda. Yaaa, well, tetep aja itu bukan sebuah ciri khas sih bagi gue, dan gue juga gak butuh ciri khas. Yang penting enak, gue denger.

Sore ini sesuatu terjadi. Ada sebuah ocehan jokes baru yang belum pernah gue denger sebelumnya selama berminggu-minggu dari radio ini. Kira-kira begini ceritanya:

Pada suatu hari, terdapat sepasang pemuda bukan homo yang hendak mengabdi untuk negaranya. Mereka berdua berjuang melalui jalur interview agar mampu berkontribusi bagi nusa dan bangsa. Sampe nya barengan, dan mereka bertemu seorang lagi disana. Lima menit kemudian orang pertama dipanggil masuk ke interview.

“Mas, seratus tambah seratus berapa?” kata yang nanya.

“Dua ratus, Om!” jawab orang pertama.

“Yyyyyaaaaaa, maaf mas gak diterima. Kalo gini caranya, Mas bisa korupsi!” jawab yang nanya dengan lantang dan menggema.

Keluar deh orang pertama, lalu orang kedua masuk bergantian.

“Siapa bro nama lo?” kata yang nanya.

“Karmin, Om. Saya keterima gak jadinya?” jawab orang kedua.

“Ooooh bentar-bentar. Seratus tambah seratus berapa ya bro?”

“Seratus lima puluh, Om! Keterima gak nih??” kata orang kedua yang mulai penasaran.

“Gagal. Keluar lu. Yang kaya lu nih bro, ini bisa me-ru-gi-kan negara, tau ga?”

Maka banting pintu lah si orang kedua ini, sehingga masuklah yang ketiga.

“Pak, saya mau interview, Pak, hehe, pertanyaannya apa ya, Pak?” kata orang ketiga yang kayaknya agak kampungan.

“Seratus tambah seratus berapa cepet jawab!”

“Ooohhh, kalo yang begitu sih saya sih gimana bapak aja pak, saya ngikut pak berapa aja saya tetap oke! Hehe” jawabnya dengan cengengesan.

“Nnnnaaahhhh, ini yang saya cari. Pas nih kamu buat negara. Mantap jaya! Hahahaha minggu depan langsung masuk ya!” jawab sang penanya dengan sumringah.

Maka diterimalah orang ketiga, yang tidak salah namun tidak mampu menjawab dengan benar dalam interview.

Gue agak terkesima sedetik-dua detik setelah denger cerita dialog diatas dari radio. Mungkin disini kurang lucu, tapi di radio itu sumpah lucu. Dan bukan karena hal lucu nya yang membuat gue terkesima, tapi intisari dari percakapan itu sendiri.

Apa bener para pejabat negara sekarang tidak butuh orang yang benar, melainkan yang ikut-ikut saja agar sang pejabat terus diatas dan memperluas kekuasaannya? Apakah politik sekarang begitu polos untuk meneruskan sebuah dinasti? Gue pikir sih dimana-mana pasti begitu. Kolusi adalah praktik yang seringkali terjadi, terutama dalam hubungan keluarga. Namun bila kolusi tersebut berubah jadi konspirasi yang tidak akan mampu menghasilkan sesuatu yang signifikan, apakah boleh ditolerir?

Seringkali gue denger kalo di Indonesia jangan jadi orang yang pinter-pinter amat, nanti digulingkan macam Habibie. Seringkali juga gue denger jangan jadi orang yang terlalu jauh cari ilmu, nanti cuma jadi pengangguran bergelar Phd. Dan seringkali pula saya mendengar bahwa kesuksesan itu berasal dari asas melayani dan jilat muka sana-sini.

Sayangnya, di dialog diatas tidak menceritakan momen dimana seseorang yang memiliki jawaban benar mampu dikalahkan oleh seseorang yang ‘tidak mampu menjawab’. Dialog diatas hanya menggambarkan bahwa orang yang mentalnya ngikut, melayani, dan tidak mampu menjawab adalah orang yang berhasil. Dalam kacamata gue, seharusnya tidak seorangpun diterima karena jelas pertanyaan mudah itu tidak ada yang berhasil jawab. Tapi pria muda yang manut dan bermental ngikut itu, ditambah modal cengengesan tebar senyum pesona, mengalahkan pesaing lainnya.

Apakah seperti itu politik kita? Apakah perlu mengorbankan intelektual dan/atau memilih untuk tidak mengutamakan kemampuan, tapi mendahulukan muka dan mental pelayan? Adanya seorang warga negara kita yang mampu bercerita seperti itu membuat gue berpikir, “Apakah bener ada orang yang berpikir sesempit itu, ya?”


Tentunya pemimpin bukanlah seorang bermental pelayan, tapi seorang yang mampu bertindak benar dan mampu melayani.